Terik surya menggigit kulitku hingga memerah dan meneteskan butiran-butiran bening di kepala dan sekujur tubuhku. Bukan hanya terik itu yang membuatku berpeluh, tapi juga karena ketergesaanku dikejar waktu untuk kuliah tata bahasa siang ini. Bu Maria, Dosen Tata Bahasa Perancis, bertubuh semampai dan senantiasa nampak cantik dengan gaya rambut dan busana tahun empatpuluhannya, dengan senang hati selalu membekali mahasiswa dnegan setumpuk tugas yang menyita waktu dan memeras otak. Dan tugas-tugas itu baru kurampaskan sepuluh menit yang lalu.

Selalu bis hijau tua berhenti di depanku. Kuayunkan kaki menaiki tangga-tangga berkarat. Segera kutempati bangku kosong berseberangan dengan pintu kaca yang terbuka lebar. Angin berhembus kencang mengacaukan rambutku yang setengah basah. Tak khayal lagi, debu jalan berterbangan mengikis harum parfum di kulitku. Sementara disampingku seorang siswi SMU, tengah menggegam secarik kertas berisi deretan kalimat yang dibacanya sambil berkomat-kamit dan sesekali melempar pandangan ke luar jendela, seolah hiruk pikuk sekeliling tak mengusiknya.

Gemerincing uang recehan mengejutkanku. Kubuka tas hitamku, mencari sebuah dompet kulit coklat bergambar Top of Eiger. Ah! Dimana gerangan dompet kulitku itu? Berulang kali aku singkap lembaran-lembaran buku dan kertas yang berjejalan, tapi tak jua kujumpai dompet kulit coklatku disana. Oh ya…bukankah ada kantung kecil di sisi belakang bagian dalam tas ini? Kubuka resletingnya, dan ternyata juga nihil. Hanya ada empat lembar uang seribuan dan tiga keping uang logam lima ratusan. Berarti dompetku ketinggalan!! Ya sudahlah, aku bayar saja Bang Kondektur dengan lembar uang seribuan yang tersisa. Ceroboh benar aku ini!!Tapi, ini pertama kalinya dompetku tertinggal saat berangkat ke kampus. Untunglah kemarin kusimpan uang kembalian dari penjual nasi goreng di kantong kecil ini.

***

Kupandangi lingkaran kecil di tangan kiriku. Jarum panjang mulai singgah di angka dua belas, sedangkan jarum pendek asyik di angka delapan. Pelupuk mataku terasa berat, seperti ada serpihan debu menari-nari disana. Dan…Kriiing… akhirnya, suara itu menyelamatkanku dari penantian panjang, setidaknya begitulah anggapanku yang tengah dihantui kantuk berat, apalagi di luar sana suara air langit begitu berat melekat di wajah bumi.

Kubuka payung merah kotak-kotak, lalu melangkah menuju jalan setapak, berhias semak belukar dan pohon kapuk di tepiannya. Percikan air hujan membentuk titik-titik kecil pada bagian bawah jeans belelku. Sekitarku begitu senyap dan gelap, suara jangkrik menjadi ritme indah mengiringi resital hujan. Hingga tiba-tiba, dibalik pohon, ada soosk bayangan hitam menghampiriku. Dan terdengar suara

“ Mbak, bagi duit, Mbak…belum makan dari pagi, Mbak..”

Seorang bocah kecil berusia lima tahunan yang menghampiriku. Tubuhnya kurus dan dekil, dibalut kaos kuning kumal bergambar …apa ya..?

Sinar lampu jalan ini begitu redup dibanding kegulitaan di sekelilingya. Oh..ya..gambar seorang ibu memeluk anaknya di depan rumah mungil. Di bawah gambar dengan rona hangat itu bertuliskan Mama Loves Me. Ada sesuatu menghantam di dada, aku sungguh iba padanya, tapi hari ini kutinggalkan dompetku di rumah. Masih berapa lagi sisa uangku yang pas-pasan tadi?. Tentu saja aku masih ingat, seribu lima ratus untuk berangkat, dua ribu lima ratus sudah aku tukarkan dengan sepiring siomay, dan sisanya seribu lima ratus lagi…pas untuk ongkos pulang. Kurogoh lagi kantong kecil di tasku, tapi sungguh tak ada sekepingpun uang logam disana.

Bocah itu berjalan disisiku dengan kedua kakinya yang tanpa alas diselimuti gumpalan tanah dan kuku-kukunya yang hitam tak terawat, kepala dan tubuhnya basah kuyup. Kurang lebih lima meter di hadapanku, sepasang kekasih asyik berjalan bergandengan di bawah payug hitam, menerobos gerimis nan syahdu. Aku berharap semoga anak ini berlari menghampiri mereka dan meninggalkanku yang tak berdaya dengan uangku yang sangat pas-pasan ini. Ya Tuhan…mengapa dompetku harus kutinggalkan hari ini?

Ternyata bocah kecil itu terus mengikutiku, entah kenapa sepertinya ia tak tertarik dengan orang lain. Aku menoleh ke belakang mencoba mencari-cari, siapa tahu masih ada rombongan temanku yang berjalan, biar kupinjam salah satu uangku dari mereka untuk kuberikan padanya Kemana orang-orang itu? Jalan ini begitu sunyi dan membuatku ingin berteriak, kenapa anak ini menyiksa batinku? Aku iba, tak berdaya dengan segala keterpaksaanku. Terpaksa tak dapat memberi

***

Senja ini langit memerah jingga, mentari bersiap pulang ke peraduan. Pekik burung terbang bergerombolan menyemarakkan suasana hutan mungil ini. Unutk kesekian ratus kali aku jejakkan kakiku menyusuri jalan setapak ini. Tak seperti semalam, jalan sempit berpagar pohon kapuk nampak ramai petang ini. Dua meter di hadapanku, tiga orang mahasiswi berbincang-bincang. Mereka begitu bersemangat hingga sesekali terdengar derai tawa nyaring. Kira-kira lima langkah di belakangku, dua orang pemuda dengan ransel di bahu mereka melangkah santai mencium aroma rumput basah sisa gerimis tadi pagi. Sementara aku, mataku berkelana mencari sosok bocah kecil yang semalam mengikutiku. Kemana anak itu ? Aku hafal benar hampir semua pengamen dan pengemis yang berkeliaran di jalan setapak ini. Tapi, bocah kecil yang kemarin itu…tak pernah kulihat sebelumnya.

Aku kecewa sekaligus resah. Adik kecil, kau sama sekali tak ijinkanku menebus rasa bersalahku. Kenapa ? …Tiba-tiba terdengar teriakan riuh di sekitar rel kereta api. Orang-orang berlari menghampiri suara gaduh itu, begitu pun aku. Kerumunan orang penuh sesak di bagian rel berjarak kurang lebih sepuluh meter dari stasiun, bersebelahan dengan perkebunan pisang. Dalam selang waktu tak sampai satu menit, kawasan tersebut sudah banjir manusia. Dan aku melihat sosok kecil tergeletak disana, dengan kaos kuning kumal bertulis Mama Loves Me. Aku mengenal kaos itu, dan aku mungkin mengenal korban itu. Aku tertegun, menyesal. Mengapa kemarin aku tidak membantu sosok kecil itu?.

Manusia-manusia berderet itu mengangkatnya, namun ternyata di sebelah sosok kecil malang yang tewas itu ada seorang sosok kecil lain. Berbadan kumal, berkulit kering, dengan rambut sedikit ikal. Dia mengenakan kaos kuning bertulis Mama Loves Me. Jadi, Aku pun kembali berpikir. Apakah dinasti pengemis juga ada di dunia ini seperti dinasti para penggede negeri?. Sungguh menyakitkan..