Category: sastra


Dosen mroyek bukan barang baru lagi di Indonesia. Fenomena ini melanda hampir semua dosen di berbagai PTN/PTS kita. Ada beberapa alasan yang mendorongnya. Pertama, sebagaimana diungkapkan Budi Santosa (harian ini, 4/05/2006), dosen tidak bisa mengandalkan gaji untuk mencukupi kebutuhan hidup, baik bagi dirinya sendiri apalagi bagi keluarga. Rata-rata gaji dosen di Indonesia berada dalam kisaran 1,3 juta-2,5 juta rupiah. Disamping minimalis, gaji tersebut tentunya tidak sebanding dengan beban sosial yang sudah terlanjur melekat pada dosen. Baik untuk menutupi biaya hidup riil sekaligus juga  biaya hidup akibat beban sosial yang melekat. Jumlah gaji riil yang diterima tidak pernah berbanding lurus dengan beban sosial yang diterima dosen.

Selama ini profesi dosen oleh sebagian masyarakat dianggap sebagai profesi terhormat. Dalam pasal 46 UU RI No. 14 Th. 2005 tentang UU Guru dan Dosen, disebutkan bahwa dosen harus memiliki kualifikasi akademik minimum, seperti lulusan program magister untuk program diploma atau program sarjana; dan lulusan program doktor untuk program pascasarjana. Selain itu harus juga memiliki kompetensi, sertifikat pendidik, sehat jasmani dan rohani, dan memenuhi kompetensi lainnya yang dipersyaratkan satuan pendidikan tertentu.

Kualifikasi yang demikian seolah mencitrakan bahwa dosen harus memiliki kecerdasan di atas rata-rata. Implikasinya, profesi dosen kemudian dianggap sebagai profesi elitis dan menjanjikan keberlimpahan materi di dalamnya. Ketatnya syarat masuk membuat jarangnya lulusan S1 yang berkeinginan  menjadi dosen. Tidak heran jika pada saat rekrutmen dosen jumlah peserta sedikit. Biasanya 1:3. Bandingkan dengan PNS atau pegawai swasta lainnya yang perbandingannya rata-rata 1: 60.

Citra elitis dan serba wah ini begitu kuat melekat. Secara tidak sadar, seorang dosen pun harus bergaya hidup sesuai dengan citra yang dibangun masyarakat tadi. Dari soal kepemilikan rumah hingga mobil. Fakta ini kian membenarkan citra elitis dosen.  Tidak cukup hanya itu, hampir sebagian besar dosen menyekolahkan anak-anaknya di sekolah favorit yang tentunya dengan biaya selangit. Seorang dosen tentunya sadar benar pentingnya memberikan pendidikan bermutu bagi anak-anaknya. Susahnya, jenis pendidikan tersebut selalu hanya hadir di sekolah-sekolah favorit yang sudah mematok biaya ‘favorit’ juga.

Lalu, coba bayangkan dengan gaji 1,3 juta hingga 2,5 juta rupiah yang diterima dosen? Lalu kalkulasikan dengan setiap rupiah pengeluaran dosen untuk menutup biaya hidup sehari-hari plus untuk menutup biaya beban sosial lainnya. Tidak hanya jomplang, bahkan tidak berbanding lurus dengan kondisi riil kebutuhan minimal. Maka jangan heran jika ada sebagian (besar) dosen lainnya yang –kebetulan- tidak kuasa mendapatkan proyek harus gali lubang tutup lubang untuk mencukupi kebutuhan hidupnya. Karenanya jangan heran juga jika sebagian besar dosen harus ‘menyekolahkan’ SK PNS atau barang berharga lainnya di Bank atau pegadaian untuk mendapatkan tambahan ‘amunisi’ biaya hidup.

Harap diketahui, profesi dosen bukanlah lahan basah untuk mendapatkan tambahan ‘materi’ (uang). Mengandalkan penghasilan sebagai seorang dosen,tentunya hanya cukup untuk biaya makan sehari-hari. Jangan ‘paksa’ dosen untuk hanya berpikir agar orang lain dicerdaskan dengan ilmunya. Seorang dosen juga manusia. Seorang dosen juga memiliki keluarga yang juga harus dicukupi nafkahnya. Lihatah Sokrates, meski dia berjasa besar bagi kecerdasan orang lain, tapi karena ia miskin, ia dihinakan oleh keluarga. Begitu juga Karl Marl, meski pemikirannya diakui oleh ilmuwan-ilmuwan di dunia ini, juga harus mati meninggalkan kemiskinan bagi keluarganya. Sehingga banyak orang berseloroh, jangan jadi filsuf (pemikir) dulu sebelum kaya.

Hampir tidak ada yang bisa di mark up dan dikorupsi oleh dosen. Dosen tidak pernah berhubungan dengan anggaran. Tambahan lain, darimana? Tidak lain dari kemampuan akademik dosen untuk mengembangkan keilmuannya melalui proyek-proyek yang bersifat akademik. Bukankah semua proyek dosen selalu berhubungan dengan dunia keilmuan, meski itu merupakan proyek dari founding non pemerintah maupun dari pemerintah?

Jika dosen hanya mengandalkan proyek penelitian khusus untuk pengembangan dosen (misal dari Dikti), rata-rata nilai proyeknya tidak sebanding dengan proyek dari departemen lainnya. Nilai proyek penelitian untuk DP3M (bagi dosen muda dan kajian wanita) berkisar 6-7 juta rupiah/tahun. Sementara untuk hibah kompetisi, seperti Riset Unggulan Terpadu, Hibah Pekerti, Hibah Bersaing, RUKK, dsb nilai proyek berada dalam kisaran 45 juta-100 juta rupiah/tahun. Itupun untuk memperolehnya memerlukan persaingan yang sangat ketat dan biasanya hanya sedikit yang mendapatkannya. Bahkan untuk dana rutin dari universitas, tidak lebih dari 6 juta rupiah/tahun.

Lalu, bandingkan dengan nilai proyek penelitian dari sebuah departemen yang bukan untuk pengembangan kemampuan dosen, berada dalam kisaran 80 juta-250 juta/1 kali penelitian. Bayangkan untuk 1 kali penelitian, bukan per tahun. Seorang kolega pernah bercerita kalau dirinya dalam 1 tahun bisa mendapatkan proyek penelitian dari instansi pemerintah lebih dari 5 proyek penelitian, dengan minimal nilai proyek 200 juta rupiah.

Berdasar pada realitas tersebut, maka tidak heran jika banyak dosen lebih memilih berkompetisi mendapatkan proyek penelitian dari instansi pemerintah atau non pemerintah. Apalagi untuk mendapatkannya juga tidak memerlukan keketatan kompetisi sebagaimana penelitian Hibah dari Dikti dan Kemenristek sebagaimana yang terjadi selama ini. Cukup mengandalkan modal sosial berupa pertemanan dan trust (kepercayaan). Bukankah ini cara berpikir yang sangat ‘realistis’ yang ditempuh dosen untuk dapat menyambung hidup di tengah melejitnya biaya hidup di kota besar.

Tri Dharma PT Setengah Hati

Alasan kedua tidak lain karena lemahnya konsep tri dharma perguruan tinggi (PT); pengajaran, penelitian, dan pengabdian. Tri Dharma PT pada dasarnya merupakan konsep yang bagus untuk mengembangkan keilmuan sekaligus mendharmabaktikannya kepada masyarakat.

Kosekuensi logisnya, maka seorang dosen jelas dituntut untuk menjalankan tri dharma PT secara terpadu. Meskipun, pengajaran merupakan kewajiban utamanya, tapi harus diingat bahwa kewajiban dosen lainnya adalah penelitian dan pengabdian. Seorang dosen tidak akan bisa naik pangkat, jika tidak menjalankan ketiga fungsi tersebut. Meski harus diakui, ada juga dosen yang tidak menyelenggarakan ketiga kegiatan tersebut, tetapi sekedar numpang nama dalam sertifikat atau tulisan untuk kepentingan jurnal, agar memenuhi syarat formal kenaikan pangkat.

Pada dasarnya, gugatan terhadap dosen mroyek lebih disebabkan seringnya dosen meninggalkan kuliah untuk kegiatan di luar pengajaran. Kegiatan pengajaran seringkali terbengkalai karena ditinggalkan melaksanakan proyek. Meskipun proyek tersebut termasuk pelaksanaan dharma lainnya; utamanya penelitian.

Pelaksanaan tri dharma yang harus dilaksanakan secara terpadu dalam setiap semester/tahun dalam realitasnya cenderung berjalan setengah hati. Logikanya, bagaimana bisa mendapatkan hasil optimal bila semuanya setengah-setengah. Ketika berupaya melaksanakan pengajaran dengan baik melalui pengayaan materi kuliah, masih harus melaksanakan kerja lainnya berupa penelitian dan pengabdian. Begitu juga sebaliknya, bagaimana bisa mendapatkan hasil penelitian yang baik jika dalam waktu yang sama harus melaksanakan pengajaran di ruang-ruang kuliah.

Sebagai contoh riset dibidang etnografi yang megharuskan peneliti berada di lokasi dalam waktu lama. Bagaimana mungkin mendapatkan data dan analisis data yang baik, jika saat pencarian data yang seharusnya membutuhkan waktu lama, tetapi karena kewajiban untuk mengajar harus bolak balik dari lokasi penelitian ke kampus? Akibatnya, riset  dilakukan tidak optimal, begitu pula pengajarannya. Seorang etnografer ulung seperti Robert Hefner, yang juga seorang dosen, harus berada di Tengger selama 2 tahun untuk mencari data bagi risetnya. Selama 2 tahun pula tentunya Hefner tidak melakukan pengajaran, bahkan juga pengabdian. Tapi hasil penelitiannya dapat dipertanggungjawabkan.

Konsep tri dharma akhirnya hanya menjadi beban baru bagi dosen jika dilaksanakan setengah hati. Konsep yang sedemikian bagus, malah melahirkan kinerja yang tidak optimal tentunya perlu segera dibenahi dan dievaluasi. Salah satunya adalah memberikan cuti mengajar selama 1 atau 2 semester bagi dosen yang sedang mendapatkan hibah penelitian. Hal ini dilakukan agar dosen tersebut terkonsentrasi untuk melakukan penelitian, sehingga  dapat berjalan dengan baik dengan hasil yang memuaskan. Pertanggungjawaban dari cuti mengajar tersebut adalah sebuah produk penelitian yang berkualitas. Kalau perlu harus dijadikan buku agar dapat dibaca oleh civitas akademika lainnya, terutama mahasiswa.

Andai upaya minimal ini dapat dilakukan, maka persepsi miring terhadap dosen mroyek tidak muncul lagi. Dan tidak lagi ruang kuliah yang kosong karena ditinggalkan dosen yang mroyek, karena kepadanya memang sudah selayaknya ada jatah untuk ‘cuti’ mengajar. Bagaimana mekanisme pemberian cuti, memang perlu ada pembicaraan mendalam dari semua pihak. Sehingga suatu saat lagi tidak ada komplain dari mahasiswa seperti terjadi pada saya, pak, bapak ini dosen apa peneliti? Alisyo00@yahoo.com

  1. Analisa Kajian Strukturalis Amerika.

Selama beberapa Tahun aliran linguistic yang berpengaruh adalah structural, dan terutama dikaitkan dengan Linguist Amerika, Leonard Bloomfield. Aliran tersebut menganggap bahwa bahasa adalah satu struktur dengan tahapan yang berkaitan, suatu kesinambungan yang dapat dianalisa. Dalam Perjalanannya Bloomfield meninggalkan tradisi filologi dan menolak titik permulaan psikologis. Menurtnya, yang paling penting adalah bukti-bukti material dalam ujaran langsung.

ü      Mekanisme dan Mentalisme

Aliran strukturalis yang dominan di Amerika adalah Behaviorist Psycology yang menganggap bahwa tingkah laku manusia dapat diperkirakan pada situasi-situasi bebas dari factor internal, ujaran (kata) dapat diterangkan dengan kondisi-kondisi eksternal yang ada di sekitar kejadian. Aliran inilah yang disebut Mekanisme.

Dilain pihak, ada yang beranggapan ujaran (kata) musti diterangkan sebagai akibat dari pikiran (maksud,kepercayaan, perasaan) dari subyek yang berujar.Aliran inilah yang disebut Mentalisme atau distribusional Analisis.

  • Study Mekanisme

Mekanisme atau Behaviourism adalah suatu aliran yang menganggap perilaku manusia sepenuhnya bersifat fisik. Mekanisme memandang bahwa pikiran sebagaai perluasan dari tubuh, bedanya hanya bahwa kegiatan pikiran sulit untuk diamati. Perbedaan kegiatan mental dan fisik hanya kompleksitas.Bahasa adalah urutan sebab akibat yang dapat dikaitkan dengan proses stimulus-respon. Dalam stimulus-respon timbul juga makna namun kemudian diabaikan karena dianggap bukan fakta kebahasaan. Ilmu mekanisme disajikan sebagai hal yang benar-benar empiris.Menurut Bloomfield, fonem-fonem dalam ujaran dapat dijelaskan dengan fisik. Kajian utamanya adalah Fonologi dan morfologi.Bunyi bahasa memiliki karakteristik sendiri yang tidaka dapat disimbolkan. Antara fonem dan morfem yang merupakan konstituen gramatik bahasa tidak mengacu pada semantik ataupun grammar.

Membuat teknik segmental analisis sebagai acuan linguistic structural yaitu dalam menganalisis kalimat kaum structural membagi kalimat atau kata-kata menjadi unsure-unsur. Unsur yang dihasilkan itu disebut Segment.

  • Study Mentalisme

Berbeda dengan pandangan Mekanisme, Mentalisme mengikuti pembedaan tradisional antara mental dan fisik. Tingkah laku kebahasaan adalah tingkah laku mental walaupun dapat dihubungkan dengan mekanisme, perilaku itu jenisnya lain;dengan demikian perilaku linguistic tak dapat diklasifikasikan dalam kegiatan fisik.

  1. Analisa Taksonomi

Istilah Taksonomi digunakan untuk menamai analisis linguistic yang pada pokoknya berhubungan denagn segmentasi dan klasifikasi ujaran-ujaran, tanpa memberi acuan pada tingkatan yang lebih abstrak dari organisasi linguistic. Taksonomi mendasarkan analisis pada asumsi bahwa kategori gramatik (jenis

kata, tenses,mood) harus dibatasi bukan berdasar makna tapi atas distribusinya dan bahwa struktur bahasa apapun jangan diberi pemerian dengan acuan pada kesemestaan kategori yang diasumsikan. Pemerian taksonomi bergaya formal dalam arti bahwa unit-unit analisinya dibatasi secara internal dalam hubungan satu sama lainnya, tidak eksternal dalam kaitan dengan kategori psikologis, logis atau metafisik.

Jadi Taksonomi adalah penyelidikan yang dimotivasi oleh perhatian utama pada pengenalan(identifikasi), klasifikasi, dan penamaan jenis-jenis gejala dalam suatu lapangan masalah.

Misalnya klasifikasi jenis kata atas kelas I.II.III.IV yang sejajar dengan kelas:Noun, Verb, Adjective, Adverb.

Dalam prosedur analisa sentaksis taksonomi linguistic secara khusus berhubungan dengan formalitas struktur lahir,yaitu jenis analisi yang mengikuti segmentasi setiap urutan unsure kalimat ke dalam unsure bawahan langsungnya. Misal

Hery menikmati makanannya

I                     II

I          a                  b

I          a                  b        c

  1. Analisa Tagmemik

Menurut Pike, unit dasar dari grammar adalah tagmeme. Berasal dari bahasa Greek Tagma Yang berarti susunan. Tagmeme merupakan korelasi slot atau jalur denagn sekelompuk butir-butir yang bias menempati jalur itu. Bahasa menurt Pike  tersusun atas tiga level yang setengah otonom tapi berkaitanyaitu fonologi, grammar, leksikon. Tagmeme-tegmeme bersatu membentuk sintagmeme atau rentetan unsure yang sejajar.

Tagmeme mempunyai realisasi portmanteau seperti akhiran jamak dalam bahasa Inggris (-s dan –es).

Ada dua macam Tagmeme yaitu Obligatory (tagmeme wajib yang biasanya diberi tanda +) dan Optional (tagmeme pilihan dengan symbol -).

Misal The five Beautifull students

±      ±            ±           +

Analisis Etnografi puji-pujian Luru Ilmu

I. Pendahuluan

Sastra atau kesusateraan adalah ekspresi pikiran dan perasaan manusia, baik    lisan maupun tulis, dengan bahasa yang indah menurut konteksnya…(Hutomo, 1997 :39)

Sastra lisan merupakan kesusasteraan yang mencakup ekspresi kesusasteraan warga suatu kebudayaan yang disebarkan dan diturun-temurunkan secara lisan atau dari mulut ke mulut. Puji-Pujian merupakan salah satu jenis sastra lisan yang merupakan identitas dari sastra yang berkembang di areal pesisiran, sehingga disebut sebagai salah satu genre sastra pesisiran. Puji-Pujian tersebut merupakan jenis sastra lisan primer.

Menurut Hutomo (1991 :3-4) sastra lisan primer adalah sastra lisan yang ekspresi budayanya disebarkan baik dari segi waktu maupun ruang, lahir dalam amsyarakat yang masih bercorak desa, masyarakat di luar kota, dan masyarakat yang belum mengenal tulisan. Selain itu sastra lisan primer belum diketahui siapa pengarangnya dan karena itu menjadi milik masyarakat, bercorak puitis dan berulang-ulanng. Memiliki fungsi dalam masyarakat serta menggunakan gaya bahasa lisan.

Puji-pujian memiliki fungsi kontrol masyarakat terhadap budaya dan religi yang dominan dalam masyarakat, sehingga banyak masyarakat yang mengenal puji-pujian tanpa tahu siapa penciptanya (milik kolektif). Salah satu puji-pujian yang ditemukan berjudul Luru ilmu. Puji-pujian tersebut biasa dikumandangkan di masjid-masjid dan bahkan pesantren. Luru ilmu terasa dekat dengan islam dan adab berbudaya di jawa.

Luru Ilmu Mencari Ilmu

Wajib luru ilmu sira,                                      Anda wajib mencari ilmu

Lanang wadon padha-padha,                         laki perempuan sama

Supaya uripe begja,                                        Supaya hidup benar

Ing donya lan akhir ira.                                  Di dunia dan akhir zaman

Pirang-pirang wong ibadah,                          Berkali-kali manusia beribadah

nanging akeh kang ora sah,                           Namun banyak yang tidak sah

Najan awake dha payah,                                Karena tubuh mereka terlalu lemah

Sebab luru ilmu wegah Sehingga mencari ilmu enggan

Aja sungkan awak sira,                                   Jangan malu Anda

Rina wengi padha lunga,                                 Siang malam telah pergi

Luru ilmu niyat ira,                                         Mencari ilmu niat Anda

ben apik ibadah ira.                                         Supaya baik ibadahnya

Kanjeng Nabi wes ngendhika,                        Nabi sudah berkata

Sapa ngambah jalan raya,                              Siapa yang melebarkan jalan

Murih ilmune agama,                                      mencari ilmu agama

Mesthi gampang nyang suwarga.                   Pasti mudah masuk surga

Semut-semut ing leng ira,                               Semut-semut di lubang anda

iwak kabeh ing segara Semua ikan di laut

Padha nyuwunake ngapura,                            Semua memintakan maaf

Dha ketrina maring sira Supaya diterima di sisiNya

Malaikat sakkabehe Malaikat dan semuanya

Padha mbeber sawuwune Membuka atapNya

Kanggo mayungi sirahe Untuk memayungi kepala

Wongkang sregep ing ngajine Orang yang rajin mengaji

Ganjarane wong kang ngaji Pahala orang mengaji

Luwih agung yen katiti Lebih agung jika tepat waktu

Katimbang wong kang nglakoni daripada orang yang menjalankan

Sembayang sunnah sawengi Sholat sunnah tiap malam

Apa maneh lamun mati Apalagi kalau sudah mati

Hukume syahid sejati Hukumnya syahid

Ora ana welas niki Tidak ada kasih yang lain

Anging suwarga kang edi Kecuali surga yang baik

  1. Landasan Teori

Teori Pendekatan Mimetik

Pendekatan mimetik merupakan salah satu pendekatan dalam klasifikasi penelitian sastra lisan. Mimetik merupakan pendekatan yang memandang karya sastra sebagai tiruan atau pembayangan dunia kehidupan nyata. Konsep tersebut awalnya dikemukakan Plato, selanjutnya dikemukakan Aristoteles (Sudikan, 2001 :6)

Teori mimetik berpendapat bahwa seni hanyalah tiruan alam yang nilainya jauh di bawah kenyataan dan ide. Namun, tiruan itu justru membedakannya dari segala sesuatu yang nyata dan umum karena seni merupakan aktivitas manusia. Meskipun, pendekatan mimetik merupakan pendekatan sastra yang tertua, tetapi sampai sekarang masih diterima dengan pergeseran pandangan (Sudikan, 2001 :6).

Pendekatan mimetik dalam sastra lisan mengutamakan komunikasi lisan yang mempunyai sifat tidak ada dasar jarak dan waktu antara produksi dan penerimaan (Sudikan, 2001 :15).

  1. Analisis Etnografi Luru Ilmu

Luru ilmu dilihat dari terjemahannya merupakan sebuah karya sastra lisan yang memiliki relasi antara islam. Jika merujuk pada Kuntjaraningrat (1985 :316-318), karena adanya pengaruh yang kuat antara agama Hindu, Budha, dan Islam, dalam perkembangannya agama Islam di Jawa mempunyai corak, yaitu agama Islam 1) Sinkritisme, ialah yang menyatukan unsur-unsur pra Hindu, Hindu, dan Islam, dan 2) agama Islam yang Puritan yang mengikuti ajaran agama secara lebih taat. Sinkritisme berkembang karena agama Islam yang masuk dan berkembang di pulau Jawa adalah agama Islam yang telah banyak terpengaruh oleh unsur-unsur mistik dari Persia dan India, karena itu cocok dengan pandangan hidup orang Jawa pada waktu itu. Pada umumnya orang Jawa mengatakan bahwa agama yang dianutnya adalah agama Islam, walupun demikian mereka sebagian besar tidak menjalankan kelima Rukun Islam secara serius, misalnya masih banyak orang Jawa yang beragama islam tidak melaksanakan Sholat Wajib, Puasa, Zakat serta ibadah Haji. Walaupun demikian bukan berarti mereka meninggalkan agama islam sama sekali. Mereka sangat yakin akan adanya Allah, seperti halnya orang muslim pada umumnya. Penganut sinkritisme ini, percaya bahwa Muhammad SAW adalah nabinya dan percaya serta yakin kebenaran Al Quran kitabullah yang diturunkan kedunia untuk pedoman bagi seluruh manusia. Tetapi mereka masih juga melakukan berbagai ritual dan upacara keagamaan yang tidak ada sangkut pautnya dengan ajaran agama Islam yang resmi. Selanjutnya menurut Koentjaraningrat dikatakan kepercayaan semacam ini hanyalah adalah varian dari agama Islam Jawa, yaitu agama Jawi atau sering disebut sebagai kejawen. Kepercayaan semacam ini biasanya diikuti oleh masyarakat Jawa di daerah pedalaman dan aliran ini nantinya banyak mempengaruhi para pujangga Kraton Surakarta dalam menciptakan karyanya.

Luru Ilmu juga memiliki relasi dengan budaya jawa jika dilihat dari islam Puritan. Agama Islam yang Puritan atau yang mengikuti ajaran Islam secara lebih taat di Jawa sering disebut santri. Pada awal permulaan penyebaran Islam di Jawa orang-orang Santri banyak bertempat tinggal di daerah-daerah Pesisir Pantai Utara Pulau Jawa, seperti di Gersik, Tuban, Demak, dan kota-kota pelabuhan lainnya. Seiring dengan penyebaran agama Islam yang dipelopori para wali agama Islam, Santri lebih dominan di daerah Banyumas dan Pesisir, Surabaya daerah Pantai Utara, ujung timur Pulau Jawa, serta daerah pedesaan di lembah Sungai Bengawan Solo dan Sungai Brantas. Tidak ada daerah-daerah yang khusus membatasi tempat tinggal para penganut dari kedua varian tersebut.

Luru Ilmu merupakan sastra lisan yang berfungsi seperti serat atau piwulangan bagi masyarakat yang berkenaan tentang ilmu agama dan pendidikan ketika hidup. Ketika dipahami secara mimetik, ternyata Luru Ilmu seusai dengan piwulangan islam jawa di Serat Wulang Reh, karya Sri Susuhunana Paku Buwono IV yang berisi ajaran Pendidikan Akhlak, yang tersusun atas-atas tahapan yaitu Takhali, Tahalli, dan Tajalli. Takhlalli, yakni mengosongkan diri dari sifat-sifat yang tercela dari maksiat lahir dan batin (ajaran ini terdiri :Larangan menjelek-jelekkan orang lain, Larangan mengumpat orang lain,  Larangan cinta dunia secara berlebih-lebihan, Larangan minum-minuman keras, Larangan berjudi, Larangan mencuri, Larangan melacur dan berzina). Tahalli, yakni mengisi diri dengan sifat-sifat yang terpuji dari taat lahir dan batin (ajaran ini terdiri Berbakti kepada orang tua, Patuh dan taat kepada orang tua, Taat kepada raja atau pemimpin, Perintah hidup rukun, Perintah saling menguatkan, Perintah mencari Ilmu, Perintah melaksanakan Rukun Islam). Tajalli, yakni merasakan akan rasa ketuhanan yang sampai mencapai kenyataan Tuhan atau Manunggaling Kawula Gusti.

Luru Ilmu lebih utama berhubungan dengan ajaran Tahalli yang memerintahkan agar manusia mencari ilmu, baik itu ilmu agam ataupun ilmu untuk bekal kehidupan. Sehingga, manusia dapat seimbang dunia dan akhirat. Manusia yang hanya beribadah tanpa ilmu dunia, maka tidak dapat masuk surga. Begitu juga, manusia ynag hanya memiliki ilmu dunia, maka tidak mendapat pengampunan untuk masuk surga.

Daftar Pustaka

Hutomo, Suripan Sardi. 1991. Mutiara yang Terlupakan: Pengantar Studi Sastra Lisan. Surabaya: Hiski Jawa Timur

Hutomo, Suripan Sardi. 1997. Cerita Kentrung Sarahwulan di Tuban. Jakarta: Pusat pembinaan dan Pengembangan Bahasa.

Koentjaraningrat. 1985. Kebudayaan Jawa,  Jakarta: Balai Pustaka.

Sudikan, Setya Yuwana. 2001. Metode Penelitian Sastra Lisan. Surabaya: Citra Wacana

Menjawab 3 bulan perjalanan

Sebuah hasil yang tak smeerta-merta aku dapat..

aku berjalan,

melewatinya,

berpeluh karenanya,

dan berakhir pada titi air bening

yang ku sebut: air mata

Seharusnya bukan seperti ini kisah akan berlanjut

aku berharap seusatu yang lebih

seusatu yang besar, yang hanya dapat kita nikmati

Tak akan ada petualang lain yang mampu seperti ini

mampu sendiri

mampu menangis

dan mampu tetap angkuh untuk berkata

AKU TIDAK BISA LEPAS.

PAPUMA

dan ketika semua

menjadi satu pandanganku

Langit bertanya,” Apa kau menunggu ombak memecahku?”

Kau pun menjawab,”Ya, aku menunggu”

”Dia hanya bisa menyentuh pasir dan bukan

aku”, jawab langit

Pasir berkilah,” kasihan ombak tak pernah menggapai apa yang disentuhnya”

Itulah Kau: Ombak..

-28 mei 2010,papuma-

Untuk Kesombonganku..

Sepi…

seperti inilah bila mendaki sendiri…
seperti kehilangan jati diri
saat semua dunia meninggalkan aku…

Sepi…

2 malam disini nggak berarti apa apa..
cuma perenungan yang kudapati…
iringi derasnya badai yang menghantam frame rapuh tendaku…

disini…
di puncak kesendirian ini…
aku cuma mampu berdiri…
terlalu sombong aku pada dunia..
hingga saat dunia meninggalkan aku
aku cuma mampu berdiri….

Sendiri…
4 hari sendiri…
pendaki lain mungkin terlalu malas untuk mendaki disaat saat ini
saat seperti sekarang adalah saat mereka tenggelam dengan dunia
sementar aku disini….
tetap sendiri….

Mandalawangi-Pangrango
by : Soe Hok Gie

Senja ini, ketika matahari turun kedalam jurang2mu
aku datang kembali
kedalam ribaanmu, dalam sepimu dan dalam dinginmu

walaupun setiap orang berbicara tentang manfaat dan guna
aku bicara padamu tentang cinta dan keindahan
dan aku terima kau dalam keberadaanmu
seperti kau terima daku

aku cinta padamu, Pangrango yang dingin dan sepi
sungaimu adalah nyanyian keabadian tentang tiada
hutanmu adalah misteri segala
cintamu dan cintaku adalah kebisuan semesta

malam itu ketika dingin dan kebisuan menyelimuti Mandalawangi Kau datang kembali
Dan bicara padaku tentang kehampaan semua

“hidup adalah soal keberanian, menghadapi yang tanda tanya “tanpa kita mengerti, tanpa kita bisa menawar
‘terimalah dan hadapilah

dan antara ransel2 kosong dan api unggun yang membara
aku terima ini semua
melampaui batas2 hutanmu, melampaui batas2 jurangmu

aku cinta padamu Pangrango
karena aku cinta pada keberanian hidup

Jakarta 19-7-1966

Terik surya menggigit kulitku hingga memerah dan meneteskan butiran-butiran bening di kepala dan sekujur tubuhku. Bukan hanya terik itu yang membuatku berpeluh, tapi juga karena ketergesaanku dikejar waktu untuk kuliah tata bahasa siang ini. Bu Maria, Dosen Tata Bahasa Perancis, bertubuh semampai dan senantiasa nampak cantik dengan gaya rambut dan busana tahun empatpuluhannya, dengan senang hati selalu membekali mahasiswa dnegan setumpuk tugas yang menyita waktu dan memeras otak. Dan tugas-tugas itu baru kurampaskan sepuluh menit yang lalu.

Selalu bis hijau tua berhenti di depanku. Kuayunkan kaki menaiki tangga-tangga berkarat. Segera kutempati bangku kosong berseberangan dengan pintu kaca yang terbuka lebar. Angin berhembus kencang mengacaukan rambutku yang setengah basah. Tak khayal lagi, debu jalan berterbangan mengikis harum parfum di kulitku. Sementara disampingku seorang siswi SMU, tengah menggegam secarik kertas berisi deretan kalimat yang dibacanya sambil berkomat-kamit dan sesekali melempar pandangan ke luar jendela, seolah hiruk pikuk sekeliling tak mengusiknya.

Gemerincing uang recehan mengejutkanku. Kubuka tas hitamku, mencari sebuah dompet kulit coklat bergambar Top of Eiger. Ah! Dimana gerangan dompet kulitku itu? Berulang kali aku singkap lembaran-lembaran buku dan kertas yang berjejalan, tapi tak jua kujumpai dompet kulit coklatku disana. Oh ya…bukankah ada kantung kecil di sisi belakang bagian dalam tas ini? Kubuka resletingnya, dan ternyata juga nihil. Hanya ada empat lembar uang seribuan dan tiga keping uang logam lima ratusan. Berarti dompetku ketinggalan!! Ya sudahlah, aku bayar saja Bang Kondektur dengan lembar uang seribuan yang tersisa. Ceroboh benar aku ini!!Tapi, ini pertama kalinya dompetku tertinggal saat berangkat ke kampus. Untunglah kemarin kusimpan uang kembalian dari penjual nasi goreng di kantong kecil ini.

***

Kupandangi lingkaran kecil di tangan kiriku. Jarum panjang mulai singgah di angka dua belas, sedangkan jarum pendek asyik di angka delapan. Pelupuk mataku terasa berat, seperti ada serpihan debu menari-nari disana. Dan…Kriiing… akhirnya, suara itu menyelamatkanku dari penantian panjang, setidaknya begitulah anggapanku yang tengah dihantui kantuk berat, apalagi di luar sana suara air langit begitu berat melekat di wajah bumi.

Kubuka payung merah kotak-kotak, lalu melangkah menuju jalan setapak, berhias semak belukar dan pohon kapuk di tepiannya. Percikan air hujan membentuk titik-titik kecil pada bagian bawah jeans belelku. Sekitarku begitu senyap dan gelap, suara jangkrik menjadi ritme indah mengiringi resital hujan. Hingga tiba-tiba, dibalik pohon, ada soosk bayangan hitam menghampiriku. Dan terdengar suara

“ Mbak, bagi duit, Mbak…belum makan dari pagi, Mbak..”

Seorang bocah kecil berusia lima tahunan yang menghampiriku. Tubuhnya kurus dan dekil, dibalut kaos kuning kumal bergambar …apa ya..?

Sinar lampu jalan ini begitu redup dibanding kegulitaan di sekelilingya. Oh..ya..gambar seorang ibu memeluk anaknya di depan rumah mungil. Di bawah gambar dengan rona hangat itu bertuliskan Mama Loves Me. Ada sesuatu menghantam di dada, aku sungguh iba padanya, tapi hari ini kutinggalkan dompetku di rumah. Masih berapa lagi sisa uangku yang pas-pasan tadi?. Tentu saja aku masih ingat, seribu lima ratus untuk berangkat, dua ribu lima ratus sudah aku tukarkan dengan sepiring siomay, dan sisanya seribu lima ratus lagi…pas untuk ongkos pulang. Kurogoh lagi kantong kecil di tasku, tapi sungguh tak ada sekepingpun uang logam disana.

Bocah itu berjalan disisiku dengan kedua kakinya yang tanpa alas diselimuti gumpalan tanah dan kuku-kukunya yang hitam tak terawat, kepala dan tubuhnya basah kuyup. Kurang lebih lima meter di hadapanku, sepasang kekasih asyik berjalan bergandengan di bawah payug hitam, menerobos gerimis nan syahdu. Aku berharap semoga anak ini berlari menghampiri mereka dan meninggalkanku yang tak berdaya dengan uangku yang sangat pas-pasan ini. Ya Tuhan…mengapa dompetku harus kutinggalkan hari ini?

Ternyata bocah kecil itu terus mengikutiku, entah kenapa sepertinya ia tak tertarik dengan orang lain. Aku menoleh ke belakang mencoba mencari-cari, siapa tahu masih ada rombongan temanku yang berjalan, biar kupinjam salah satu uangku dari mereka untuk kuberikan padanya Kemana orang-orang itu? Jalan ini begitu sunyi dan membuatku ingin berteriak, kenapa anak ini menyiksa batinku? Aku iba, tak berdaya dengan segala keterpaksaanku. Terpaksa tak dapat memberi

***

Senja ini langit memerah jingga, mentari bersiap pulang ke peraduan. Pekik burung terbang bergerombolan menyemarakkan suasana hutan mungil ini. Unutk kesekian ratus kali aku jejakkan kakiku menyusuri jalan setapak ini. Tak seperti semalam, jalan sempit berpagar pohon kapuk nampak ramai petang ini. Dua meter di hadapanku, tiga orang mahasiswi berbincang-bincang. Mereka begitu bersemangat hingga sesekali terdengar derai tawa nyaring. Kira-kira lima langkah di belakangku, dua orang pemuda dengan ransel di bahu mereka melangkah santai mencium aroma rumput basah sisa gerimis tadi pagi. Sementara aku, mataku berkelana mencari sosok bocah kecil yang semalam mengikutiku. Kemana anak itu ? Aku hafal benar hampir semua pengamen dan pengemis yang berkeliaran di jalan setapak ini. Tapi, bocah kecil yang kemarin itu…tak pernah kulihat sebelumnya.

Aku kecewa sekaligus resah. Adik kecil, kau sama sekali tak ijinkanku menebus rasa bersalahku. Kenapa ? …Tiba-tiba terdengar teriakan riuh di sekitar rel kereta api. Orang-orang berlari menghampiri suara gaduh itu, begitu pun aku. Kerumunan orang penuh sesak di bagian rel berjarak kurang lebih sepuluh meter dari stasiun, bersebelahan dengan perkebunan pisang. Dalam selang waktu tak sampai satu menit, kawasan tersebut sudah banjir manusia. Dan aku melihat sosok kecil tergeletak disana, dengan kaos kuning kumal bertulis Mama Loves Me. Aku mengenal kaos itu, dan aku mungkin mengenal korban itu. Aku tertegun, menyesal. Mengapa kemarin aku tidak membantu sosok kecil itu?.

Manusia-manusia berderet itu mengangkatnya, namun ternyata di sebelah sosok kecil malang yang tewas itu ada seorang sosok kecil lain. Berbadan kumal, berkulit kering, dengan rambut sedikit ikal. Dia mengenakan kaos kuning bertulis Mama Loves Me. Jadi, Aku pun kembali berpikir. Apakah dinasti pengemis juga ada di dunia ini seperti dinasti para penggede negeri?. Sungguh menyakitkan..

“Ayo…cepat berangkat,nunggu opo maneh arek-arek iki,”kata Anjar.

“Sek…teman-teman belum ngumpul.”sela Nurul.

Riuh suasana di sekretariat Pecinta Alam SMAN I Ayak-ayak membuatku terlarut juga. Aku cukup dilema malam ini. Bayangkan saja, Adik-adik kelasku mau ndaki ke Welirang, tapi empat hari lagi Aku Ujian Nasional, penentuan hidup dan matiku. Jujur ingin ikut juga bersama mereka. Tapi…tidak mungkin lah. Bisa dipecat jadi Anak kalau Aku sampai berangkat pasti Orang tua ku bilang “Kamu ga belajar?”…

Waktu menunjukkan pukul tujuh malam tapi Anak-anak tidak lekas berangkat. Mereka masih menunggu Pick-up yang akan mengantar sampai pos perizinan di daerah Malang. Sampai ada juga beberapa anak yang ketiduran di dalam Sekretariat.

“Mbak,kok lama se…ngantuk..”Keluh Tyas.

Mungkin Anak-anak sudah benar-benar capek menunggu. Tapi, bagaimana lagi…Pick-up yang kami tunggu itu milik seorang senior kami. ‘Kan lumayan gratis, tidak bayar. Rencananya Aku dan teman satu angkatanku akan mengantar sampai perizinan juga, kami masih belum tega melepas Adik-adik. Ini adalah perjalanan awal mereka meski sudah kami bekali materi, tapi…tetap rasa khawatir itu ada. Aku merenung cukup lama dalam riuh tawa Teman-teman senior yang juga ikut mengantar.

Tiin-tiin-tiin.

Wah,,akhirnya datang juga pick-up yang kami tunggu. Langsung saja Aku suruh Anak-anak mengambil cariernya dan mengatur tempat duduk di bak pick-up. Maklumlah Anak PA kan sederhana dan tidak punya malu,hehe, termasuk Aku. Semuanya bergegas naik karena hari sudah malam. Seketika keriuhan yang tadi Aku dengar di Sini hilang,berubah menjadi kesunyian yang dibawa angin mengantar kepergian Kami menuju Malang. Selama perjalanan Anak-anak yang tadinya ngantuk sepertinya tidak lagi. Bagaimana tidak? Malam hari, dingin, di tempat terbuka lagi dan menempuh perjalanan jauh.

Mengobrol jadi agenda pasti selama perjalanan. Ada yang menggambarkan bagaimana Ibunya ketika Dia berpamitan, ada yang bicara tentang banyaknya logistik yang mereka bawa. Macam-macam. Aku senang mereka tidak punya rasa takut ketika akan menghadapi alam. Aku memang selalu berpesan agar menyelaraskan diri dengan alam, tidak sombong, dan kerja tim. Semoga Masa diklat tiga bulan kemarin membawa kesuksesan dan keselamatan mereka menuju Puncak welirang.

Sebenarnya Aku juga merasa sedih, mengapa Aku tidak bisa ikut bersama mereka. Padahal Aku ingin bersama Adik-adikku..sudahlah… lain kali pasti bisa.

Wes ta,sadar..kita tu akan ujian..kapan-kapan aja kita ke Gunung bareng

mereka,oke.” Ujar febrian, teman satu angkatanku.

“ Ya,bener…Yang penting Adik-adik sukses ampe puncak. Aku juga

seneng.”jawabku.

Sudah dua jam perjalanan, pos perizinan sudah dapat terlihat oleh mata. Adik-adik pun semakin senang dan tidak sabar .

Tepat pukul sepuluh malam kami tiba di pos perizinan pak Tompul.

Dengan sigap Adik-adik membawa carier-carier beratnya. Perjalanan kali ini akan dibimbing oleh dua senior kami, mereka memang sudah banyak pengalaman ndaki Gunung daripada Aku. Setelah mengambil karcis dan surat izin masuk, kami berkumpul. Disitu. Aku memimpin doa sebelum melakukan perjalanan dan memberi pesan pada Adik-adik. Saat itu Aku seperti orang tua yang akan melepas kepergian anak-anaknya ke tempat yang jauh. Padahal kalau dipikir-pikir mendaki Welirang Cuma dua hari. Mungkin saat itu aku terlalu terbawa suasana sampai ingin menangis.

“Mbak, doain kami ya.kalau ada sinyal kita pasti hubungi Mbak.” Ujar

Ida, yang memang dia adalah Adik yang paling dekat denganku.

“Mbak, semangat buat Ujian Nas nya ya.” Tambah Reksa.

wes,wes.. koyo’ ga ktemu berapa hari aja.Ayo, senternya dinyalakan

semua. Cewek di depan. Arif, kamu jadi Kapten Clock. Catat Jam

keberangkatan kita.” Instruksi Mas Koko, Seniorku yang mengantar.

Setelah mereka menyiapkan alat penerangan dan minum di samping carier masing-masing, merekapun berangkat. Aku sudah janji menjemput,mereka paling lambat minggu sore sudah turun.

“da…da… Mbak,Mas” sapa adik-adik

Akupun melambaikan tangan dengan penuh kekhawatiran dan harapan. Akhirnya,Aku harus melepas 11 orang Adikku ke alam bebas. Ya…mau tidak mau Pecinta alam memang harus mendaki Gunung. Huhh…Tapi, sekali lagi Aku yakin Mas Koko dan Mbak Tika (seniorku) mampu membimbing dan mengajarkan bagaimana hidup di Alam.

Tyas, Ida, Nurul, Anjar, Reksa, Arif, Odi,Septy,firda,sulung,Dani, semoga kita bertemu lagi setelah kalian meraih Puncak Welirang. Alam bukan untuk ditaklukkan tapi bekerjasamalah dengannya. Aku kembali ke Rumah melepas lelah seharian mempersiapkan perlengkapan Adik-adik. Aku masih ingat wajah mereka yang riang dan bersemangat. Berdoa, itu yang bisa Aku lakukan. Dan jelas Belajar buat Unas.

Hari ini Minggu,sudah saatnya mereka turun. Aku sudah janjian dengan Febrian untuk menjemput mereka sekitar jam empat sore di pak Tompul. Aku sudah mempersiapkan makanan dan minuman ringan untuk mereka. Pasti mereka capek dan butuh energi waktu turun nanti. Febrian pun juga sudah mempersiapkan transportasi untuk menjemput mereka. Rencananya Aku, febrian, dan Hardi (teman satu angkatanku) yang akan menjemput mereka. Sedangkan Andika dan Zaki(teman satu angkatanku juga) yang akan mempersiapkan sekretariat buat Adik-adik singgah sebelum pulang ke Rumah masing-masing.

Pukul Tiga sore, ternyata Hardi dapat SMS dari septy kalau mereka belum bisa turun karena masih ada yang sakit. Tapi mereka sudah mencapai puncak semuanya.

“ Anak-anak belum bisa pulang, Firda sakit, ga bisa jalan.”kata hardi.

“Tapi ,firda ga apa-apa kan?”tanyaku

Ga,kok.nyante aja.” Jawab hardi.

“Syukurlah,ya udah. Besok aja kita jemput mereka.kan kita ujian masih

selasa. Ga apa-apa kan pergi ma ortu kalian?” sambung Andika

Kami sepakat besok senin saja menjemput mereka. Pasti mereka sudah turun. Mungkin firda kena Kram atau kecapekan, jadi belum bisa jalan. Dibuat istirahat juga pasti sembuh. Akupun pulang lagi ke rumah dan belajar. Ujian tinggal satu hari lagi. Bisa gawat kalau tidak persiapan.

Kriiing-kriiing.

Wah siapa yang malam-malam telfon Aku,pikirku. Sudah jam 11 malam tapi mengapa telfon dan Aku lihat dari Febrian.

“Apa, Feb?” tanyaku.

“Ber, sory..Arif hilang!”kata Febrian.

“maksudmu?” tanyaku panik.

“waktu turun dari puncak, Arif mendahului anak-anak lain. Dia salah

jalur. Tapi anak-anak yang lain belum tahu. Takut dropped. Mas Koko tadi

turun ke perizinan dan telfon Aku. Kita disuruh mbantu.”jawabnya.

“Ya sudah Aku siap-siap, Aku jam empat saja berangkat ke Malang”

jawabku.

Aku bingung, panik. Tetesan air mata pun jatuh tak tertahan di pipiku. Bagaimana mungkin??…tak lama lagi telfonku berbunyi.

Kriing-kriing.

“Mbak, aku meta. Mbak kapan ke Malang. Aku ikut.”Tanya meta, salah

satu Adik kelasku tapi tidak ikut mendaki.

“oya, Met. Besok habis shubuh. Kita naek colt aja. Aku tunggu di Mess

FPTI.Met, jangan bilang siapa-siapa kalau Arif hilang. Apalagi Orang di

Sekolah.Nurul,dkk kalo udah turun aja dibilangi.”pintaku.

“Iya, Mbak. Mbak,sabar ya. Arif pasti ga apa-apa.”bujuk meta.

Aku tidak sanggup tidur. Semua peralatan mendaki Aku siapkan,dan kontan membuat orang se Rumah ikut panik. Kakakku bilang,”Kamu ga apa-apa ikut membantu tapi ingat besok selasa kamu Ujian.Jangan sakit. Malam harus udah di Rumah.”

Yang Aku pikirkan saat itu bukan Ujian, tapi bagaimana Arif. Bagaimana dia begitu egois meninggalkan teman-temannya dari Puncak. Aku merasa gagal membina mereka. Rasa egois seharusnya tidak boleh ada ketika kita di Alam.

Ahh…Aku ini kenapa. Kenapa Aku menyalahkan Arif. Yang terpenting sekarang bagaimana menemukan Arif dan jangan sampai jadi masalah besar.

Pagi itupun Aku berangkat menemui Meta. Kami menuju  Malang. Ternayata…

Kriiing-kriiing

“Halo,Mbak Ber.Ini Wali kelas Arif X-3.Saya dapat kabar Arif belum

pulang dari mendaki. Padahal seharusnya minggu kemarin. Ada Apa?”

Tanya Bu Dyah,wali kelas Arif.

“Oh,iya,Bu. Maaf.Arif tidak apa-apa.Hanya ada teman yang sakit jadi

belum bisa turun. Secepatnya saya menghubungi orang tua Arif.”Jawabku.

Aku bingung lagi. Ternyata orang tua mereka sudah mulai mempertanyakan kenapa Anak-anaknya belum pulang. Selama perjalanan Aku banyak ngobrol dengan Meta. Mengapa bisa samapai hilang?. Bagaimana keadaan Arif?Saat itu Aku benar-benar antara Ada atau tidak di Dunia ini. Ini semua tanggungjawabku sebagai Ketua Pecinta Alam. Apa yang akan terjadi seandainya Arif tidak ditemukan. Arif adalah anak tunggal di keluarganya. Bagaimana perasaan orang tuanya ketika tahu hal ini?. Berjuta pertanyaan muncul di otakku.Aku tidak sanggup menghadapi ini.

Sampai di pak Tompul juga akhirnya. Disana Aku lihat senior-seniorku yang sudah bingung. Wajah kelelahan karena juga ikut mencari di Gunung welirang dan turun lagi untuk menemuiku. Membicarakan solusi masalah ini.

Panjang lebar Aku dengarkan penjelasan Mas-mas dan mbak seniorku. Ternyata memang Arif tidak dapat ditemukan. Akhirnya Kami putuskan membawa Adik-adik yang lain turun dan mengantar mereka pulang ke Rumah. Masalah pihak sekolah, Pembina ku yang menjelaskan. Aku diberi tugas menemui dan menjelaskan keberadaan Arif terhadap keluarganya. Gubrakk…. Kenapa Aku diberi tugas yang menanggung beban mental itu.

Adik-adik yang lain turun dan semuanya menangis. Mereka senang sudah di puncak bersama-sama tapi kenapa Arif turun mendahului dan salah mengambil jalur. Odi yang saat itu berjalan bersama Arif bilang,”Aku ga ngerti,mbak. Kata Arif ambil jalan kiri aja. Aku disuruh ambil jalan kanan.ntar pasti ketemu.soalnya kita sama-sama lupa jalurnya. Jadi kita putuskan pisah. Terus, Aku nyampe di camp. Arif ampe maghrib belum. Ya,itu…”

Setelah mendengar penjelasan Odi dan anak-anak, Aku menuju sekretariat dan ternyata pihak Sekolah serta Keluarga sudah tahu. Aku diberondong dengan sejuta pertanyaan yang menyudutkan. Akhirnya, kami semua membagi tugas. Aku dan Ida ke rumah Arif, Senior-senior dan Odi kembali ke Welirang mencari Arif,pihak sekolah mendatangkan TIM SAR Surabaya dan Probolinggo. Semua panik, semua lelah. Tingkat emosi pun tinggi, begitu juga Aku. Aku tidak menyangka, Perjalanan awal mereka berakhir seperti ini.

Aku bersama Ida menuju Rumah Arif ditemani Anjar dan Febrian. Isak tangis dan makian tak terelakkan. Sifat Legowo dan merendah yang hanya bisa Aku berikan. Akupun ikut menangis. Keluarga Arif menelfon polisi dan menyalahkan pembinaku. Memang itu tanggung jawabku dan teman-teman PA, tapi Arif juga memiliki sedikit kesalahan sikap saat itu. Keluarganya tidak tahu keegoisan Arif. Namun, Aku sadar tidak mungkin dalam kondisi seperti ini Aku juga menunjukkan kesalahan Arif. Tambah Runyam masalahnya nanti.

Situasi dan percakapan yang dramatis pun terjadi sampai pukul sepuluh malam. Akhirnya,Aku pamit. Karena besok pagi pukul delapan Aku harus Ujian. Aku janji akan segera menemukan Arif. Meskipun Ibu Arif sudah pingsan tidak karuan, tapi tetap Aku berusaha menguatkan anggota keluarga yang lain. Aku pulang. Capek, penat, bingung, takut. Semuanya bercampur aduk. Aku tidak pernah membayangakan hal seaneh ini terjadi. Serasa bermain sinetron. Tapi sayangnya bukan dan ini nyata.

Kondisi seperti kemarin terus terjadi. Aku Ujian pun tidak konsen. Guru-guru memburu ku. Begitu juga dengan Teman-temanku yamg lain. Aku bingung. Haruskah Aku mengabaikan permasalahan Arif dan memikirkan Ujianku?. Sekali lagi Aku dilema.

Sampai hari Rabu baru Aku dapat kabar dari Mas Koko. Arif ditemukan. Selamat,hanya terluka pada bagian kaki.

Arif ditemukan diatas pohon di lereng Gunung Welirang oleh seorang penambang Belerang. Langsung gempar semua orang. Arif dibawa ke Rumah sakit dan selanjutnya dibawa Pulang. Akupun sujud syukur atas ditemukannya Arif.Aku bersama teman-teman mengunjungi Arif keesokan harinya. Setelah Arif mendingan dan bisa diajak bicara,  Akupun mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang biasa orang lain ingin ketahui.

“ga apa-apa,Mbak. Ya waktu itu Aku salah. Aku sendirian Mbak di

hutan. Makan daun.Kalau malam ya tidur di pohon. Aku takut ular. Tapi

untung Aku sudah pernah belajar materi survival, hehe.”Ujar Arif

Melihat Arif ketawa, Aku senang. Ternyata dibalik musibah kemarin dia bisa mengambil hikmahnya dan yang terpenting Ia telah mengambil pelajaran hidup yang berharga. Aku lega. Semuanya dapat diselesaikan. Meskipun pada akhirnya, Arif mengundurkan diri dari Pecinta Alam tapi Aku masih salut akan ketangguhannya menghadapi musibah di Gunung,sendirian, tanpa bekal. Selesai sudah satu masalahku. Fiuwhh…

Sekarang menunggu hasil ujianku yang Aku sendiri tidak tahu. Aku tidak berharap nilai tinggi, yang penting lulus SMA. Sudah syukur…menyadari kalau Aku memang tidak belajar kemarin. Meskipun belajar, Aku juga belum tentu bisa……

Kriiing-kriiing

Apalagi nih telfon,pikirku.

“Mbak Ber, kami dari pihak sekolah. Ingin bertemu membahas tentang

kelanjutan Organisasi Pecinta Alam SMAN I Ayak-ayak.”Kata Pihak

sekolah yang sepertinya ingin mengadiliku.

Wah, masalah apalagi ini… Tabah ya Ber…Hidup itu memang untuk berjuang.

Dan kini ibu sudah punya alamnya sendiri.Baka yang memanggilnya memisahkannya dariku.

Ayahku, turunan dewa lukis. Senafas ibuku masih berhembus, tak satu pun lukisan yang ia jual. Melukis tak berubah. Entah darimana uang yang kumakan setiap harinya.

Barulah ayah dengan kesetresannya yang berlarut-larut, terpaksa menjual satu lukisannya. Itupun hanya sekotak 40×50 cm untuk menambal hutang sana-sini. Hutang untuk ibuku yang mati kesesakan. Hutang yang terus berkutat dengan perut kami.

Ironisnya, di sekolah, aku dieluh-eluhkan sebagai anak jutawan. Setiap festival nama yang disebut-sebut sebagai donatur adalah ayahku. Setiap ada acara nongkrong yang disebut selalu aku.

Uang sakuku sedikit. Terkadang aku harus ke sekolah dengan tangan kosong. Setiap ajakan temanku untuk ngalor-ngidul selalu aku tolak karena keterbatasan dana. “Aku harus menyelesaikan proposal“, kilahku. Kalau sudah begitu, mereka maunya ke rumahku. Ini yang paling gawat.

Rumahku besar. Halaman ber-are-are. Tapi, jeleknya bukan main. Bangunan tua rumah joglo. Warisan turun temurun yang tak boleh diperbaiki. Kalaupun mau membenahi walau hanya genteng bocor, harus mengadakan acara sesaji menyembelih babi.

Kamar depan kupilih sebagai tempatku merebahkan tubuh setiap malam. Dari bingkai jendela, aku bisa menerobos hamparan rumput. Sering aku berlari-lari  dan roboh dalam pelukannya. Terutama jika hatiku sedang galau.

Dari bayiku hingga remaja ini, aku masih tetap mendekam di rumah aneh itu. Juga ayahku bahkan kakekku yang juga tak mau hengkang sejak bayi sampai mati.    “ Dimana dia bersinar, disitulah juga ia akan meredup”, kata ayahku mengenang kematian kakekku. Ibuku? Dia dilahirkan di rumah sakit, mati pun di rumah sakit.

Kadang aku juga bingung sendiri. Ibu yang cantik dan seksi, mau-maunya menghabiskan nyawa dnegan pelukis gila ini. Ibu yang begitu muda dan segar, tiba-tiba digilas penyakit aneh. Yang tak bisa dikorbankan untuk sandang pangannya sendiri. Apalagi aku.

Aku malu. Mengenyam hidup di kota besar yang sarat akan perubahan. Sekolah tempat aku menimba ilmu, termasuk sekolah favorit. Teman-teman disekelilingku punya apa saja. Sedangkan aku, punya sepatu usang, tas sekolah yang sobek di sana-sini. Keadaanku sendiri seperti tengkorak. Dan aku hanya bisa terus membatin.

Pernah suatu ketika aku mencoba minta baik-baik sebuah sepatu untuk sekolah sambil menikmati sore, seperti biasa dia menghadap kiblatnya di pelataran belakang. Di tangannya tergenggam kuas siap untuk menggoreskan cat. Di bibirnya terselip tembakau terbungkus kertas.

Aku, sepeninggal ibuku, menjadi penggantinya untuk menyapu pelataran belakang. Hatiku sudah riuh, sambil aku tertunduk menyapu dedaunan. Terik matahari sore yang menyapu kulitku semakin kuat memungkul jantungku. Tanganku berhenti kaku, berjalan mengendap-endap padanya.

“ Tasku sudah rusak. Apa ayah tidak malu aku selalu diejek orang?“

“ Aaah.. orang memang begitu, materi saja yang diurusi“, dan memang selalu begitu. Apapun itu yang aku minta, kalimat hidup dengan segala harta bendanya, Nabi Muhammad yang menerapkan hidup sederhana, masih melakukan berdagang untuk memenuhi kebutuhannya.

Dan materi yang ada di bawah hak kepemilikanku ini sudah tidak kucintai dan kubanggakan lagi. Semua akan kuikuti saja searus kehidupan bumi yang sarkastik. Hidup pagi hari ke sekolah, malam mengendap dalam kamar meratapi nasib atau pelajaran sialan.

Umurku yang semakin tua, terus saja menunggu keberuntungan. Berjumlah-jumlah upaya aku ikuti untuk menggapai sang Dewa keberuntungan. Ikut sayembara ini-itu. Ikut lomba ini-itu.

“ Yah…keberuntungan belum datang“, kata Ayah sambil menghisap tembakau.

“ Kalau datang?“

“ Kalau tidak melenceng dari nilai luhur kehidupan, ya…jangan dilewatkan“.

Inilah yang paling lama membuatku berdebar. Sepulang sekolah aku langsung digiring ke ruang Kepala Sekolah. Setelah ngalor-ngidul tidak ada isinya, maka aku dapat menangkap isi pembicaraan itu, bahwa aku telah berhasil mengikuti ujian beasiswa ke Belanda.

Ini yang namanya keberuntungan, jangan dilewatkan. Sebentar lagi, bahkan dalam hitungan jari aku segera hengkang dari neraka turunan ini. Pulang dengan kejutan elektron-elektron sumringah, aku langsung menginjak pelataran belakang.

Masih dengan tembakau yang terselip di bibir hitamnya, dia terus menggores pelan seiring dengan ketukan jantungnya. Semakin dekat aku bisa melihat ubun-ubunnya, betapa renta ia sekarang. Rambutnya putih dan mulai tanggal satu per satu.

Dengan keyakinan sepenuh hati ia pasti akan menerima kesumringahan ini sesumringah diriku,

“ Ayah…“

“ Ehm…“, reaksi paling ayem di hatiku..

“ Keberuntungan memanggilku, aku dapat beasiswa ke Belanda. Untuk kali ini, tolong ayah mau memberiku izin dan uang saku sekadarnya“, terutama uang saku yang aku beri penekanan kuat.

Tangannya berhenti. Tembakaunya diletakkan di sisi kanannya. “ Mau apa ke negeri imperialis itu?, Di indonesia masih ada…“. Dan seterusnya yang tak bsia aku jangaku dengan telingaku. Mataku dibanjiri kunang-kunang. Kulihat sosok di depanku adalah benar-benar malaikat penjaga neraka dengan seringai tarinya yang tak membiarkanku lolos.

Mataku meenggerayangi sekitar bumi yang ku pijak. Pohon mangga rindang. Kursi-kursi reot. Tanah lembab bekas hujan kemarin malam. Lukisan ayah yang harganya bsia sampai berjuta-juta. Tube bermacam-macam warna terbuka. Kuas berlumur cat. Pisau palet beragam bentuk berserakan diantara tembakau ayah.

Sadarku datang. Ku tatap ayah mlutnya sudah terkatup dan siap berdansa dengan kuasanya kembali. Botak mulus pada ubun-ubunnya benar-benar membuatku naik darah. Untuk kali ini aku ingin menjalani hidup tanpa menuruti dasar filsafat sialanmu. Aku satu-satunya buah spermamu, tak adakah rasa kasih untukku?

Tanganku cepat menyambar pisau palet runcing. Dengan nafas naik turun, aku tancapkan kuat-kuat pada ubun-ubunnya yang mengejekku. Cabut…ku tancapkan lagi…kucabik-cabik, darah merah keluar. Otaknya tercecer, dan ia terus roboh. Mengerang semakin keras, membuatku semakin kuat mencabik-cabik.

Suaranya meredup, tangannya lelah menggapai-gapai. Lalu beku. Dadaku bergerak melambat. Badanku pun ikut rubuh.  Dalam dada ini ada kepuasan terbesar, namun ada kegetiran terdalam. Kepalaku mendongak ke depan. Ke gedung harta karun, tempat para lukisan. Palet runcing itu lepas dari tanganku. Lambat aku usapkan tanganku pada kepala ayah yang telah terbongkar.

Aku kini kaya, para lukisanmu akan tunduk padaku. Berjuta-juta uang akan menggelayuti hidupku dari penjualan lukisanmu. Dan kamu kini telah punya alammu sendiri. Di rumah ini kamu bersinar, maka di rumah ini juga kamu meredup. Mampus di tanganku, seperti ibu yang terus mau jadi budakmu.